Rabu, 15 Februari 2012

Karma #1

Ila menikah. Aku selalu bersekolah di tempat yang sama dengannya sejak TK hingga SMP. Kami juga sama-sama memilih SMK bukan SMA walau di sekolah yang berbeda. Rumah kami sangat dekat ditambah kedua orang tua kami telah saling mengenal dengan baik. Tentu aku bahagia akan pernikahannya ini, tapi terselip keraguan untuk datang ke acara itu. Ini bukan karena aku memiliki perasaan cinta pada Ila, bukan. Aku tulus menyayanginya Ila seperti adikku sendiri. Ini karena Phia, sahabat Ila di SMP yang tentunya temanku juga, oh bukan, mantanku lebih tepatnya.
***
Akhirnya, dari keempat sahabatku semasa SMP, Ila lah yang menikah terlebih dahulu. Ini sudah kami prediksikan sebelumnya mengingat lingkup keluarga Ila yang mewajibkan anak gadisnya sudah harus menikah dengan batas umur maksimal 20 tahun. Aku, Serri dan Piny selalu menggodanya semasa kami SMP dulu untuk memberikan hadiah pernikahan berupa lingerie. Dan saat ini, kami benar-benar merealisasikannya. Begitu gila kami dulu, tapi itulah kenangan terindah yang ku punya. Aku ingin tampil secantik mungkin untuk pernikahan sahabatku ini, apalagi bisa dipastikan banyak teman SMP yang datang. Ila bukan gadis populer, tapi dia ramah kepada semua orang, itu mengapa banyak yang menyukainya.
***
Saat aku SMP, Phia adalah gadis polos yang benar-benar tak mengerti kejamnya lelaki di kota besar ini. Bahkan lelaki yang masih bau kencur sepertiku saat itu juga menjadikannya bahan lelucon dengan teman-teman sekelasku. Mereka menantangku untuk mendekati gadis itu. Aku harus mendekatinya dan jika aku mampu bertindak lebih jauh, aku ditantang untuk menjadikannya kekasih. Aku tidak akan dapat sejumlah uang taruhan karena kami memang tidak bertaruh. Ini hanya untuk bersenang-senang. Dan saat aku mendekatinya, dengan bantuan beberapa teman yang sekelas dengannya termasuk Ila, aku berhasil mendapatkannya.
Waktu itu bel pulang sekolah sudah berbunyi 15 menit yang lalu. Tapi aku tak langsung pulang, aku bermain bola bersama teman sekelasku. Lalu aku melihat Phia dengan sepeda merah. Aku melambaikan tanganku ke arahnya, tapi dia tak melihatku. Dia sibuk dengan beberapa teman laki-laki yang pulang bersamanya. Dia memang tomboy, dan sejauh ini aku lebih sering melihatnya berteman dengan lelaki, itu mengapa aku mudah mendekatinya. Aku lalu meneriakkan namanya dan akhirnya dia menoleh kepadaku sambil tersenyum. Dia merapatkan sepedanya ke gerbang sekolah yang terkunci karena lapangan tempatku berdiri memang berada dekat sekali dengan gerbang itu. Aku lalu menghampirinya. “Phia sudah mau pulang?” kataku semanis mungkin. Iya, inilah peranku. “ehhm, iya mau pulang sekarang. Eyangku selalu khawatir berlebihan jika aku tak pulang tepat waktu. Kamu masih mau bermain bola? Mau pulang jam berapa?” dia tersenyum, dia memang selalu tersenyum. Itulah yang membuatnya menarik. “kalau capek ya pulang. Hehee, nanti jam empat ada acara? Telpon aku bisa? pengen ngobrol.” Dia pasti mau, karena aku tahu dia mulai menyukaiku. “iya, nanti aku telpon jam empat pas. Aku pulang dulu ya, dadah.” Katanya sambil menaiki sepeda dan kemudian mengayuhnya pulang. Aku menatapku tas punggung berwarna abu-abu itu, apakah aku anak laki-laki yang jahat? “hei Yogi! Ayo main lagi! Ngapain kamu liatin cewe udik itu? Uda mulai kesengsem ya?” kata Eki menggodaku. Aku menggeleng dan aku berlari kearah lapangan untuk bermain lagi.
***
Aku dulu begitu kesal ketika ibuku menyuruh aku untuk pindah ke Surabaya terlebih dahulu. Aku tak terbiasa terpisah dengan keluarga untuk jangka waktu yang lama. Apalagi semua temanku ada di Kalimantan. Bagaimana aku bisa meninggalkan itu semua dan beradaptasi dengan keluarga besar di Surabaya yang jarang kutemui. Memang seluruh keluargaku ada di Surabaya, tapi aku jarang sekali pulang ke Surabaya, itu mengapa aku sedikit canggung jika harus berada disana tanpa ibuku. Tapi ibu bersikeras dengan alasan ada ayahku disana. Akhirnya aku menurutinya, dengan berat hati tentunya. Aku yang sempat bersekolah di SMP favorit di Banjarbaru kota tempatku tinggal ternyata dapat diterima di SMP favorit di Surabaya timur. Itu menambah semangat ibu untuk mendorongku segera hijrah ke Surabaya meninggalkan masa kecilku yang indah di Kalimantan.
Di SMP inilah aku bertemu dengan Ila, dia teman sebangku yang menyenangkan. Dia lucu dan ramah. Karenanya aku mudah beradaptasi. Tapi para gadis disini nampaknya tak suka dengan gadis udik dari luar Jawa seperti aku. Apalagi aku berbicara dengan aksen yang mereka anggap aneh dan terlalu cepat untuk telinga mereka sehingga aku tak terlalu senang berteman dengan gadis disini, kecuali Ila tentunya. Aku lebih nyaman berteman dengan laki-laki yang tak mudah tersinggung dan mempunyai selera humor.
Suatu hari Ila bercerita bahwa temannya Yogi sering menanyakan aku padanya. Ila bilang Yogi adalah anak pendiam. Ila sendiri sudah mengenal Yogi sejak TK, ditambah lagi rumah mereka sangat dekat, orang tua mereka pun berteman baik. Yogi rajin mengumandangkan adzan di mushola dekat rumahnya. Dia juga rajin mengaji. Dia mendapat beasiswa dari guru matematika kami di SMP ini karena dia sangat pintar dalam mata pelajaran itu. Takjub aku mendengar semua kelebihan Yogi. Aku sama sekali tak keberatan saat Ila menjodoh-jodohkanku dengannya. Dan Yogi memang mendekatiku. Sebenarnya hanya tebakanku saja, karena kata Ila dia jarang tersenyum tapi saat aku kepergok sedang menatapnya, dia justru tersenyum padaku. Dia juga sering nongkrong di depan kelasku. Apakah itu sengaja? Hingga sampai pada suatu siang sepulang sekolah, dia memanggilku dan meminta aku menelponnya. Hei? Mengapa dia menyuruhku menelponnya? Padahal dalam hal ini dia yang sedang melakukan pendekatan? Mengapa aku yang telpon? Tapi sudahlah, aku pun senang bisa ngobrol banyak dengannya nanti sore di telpon.
***

Karma #2

Phia menelponku, tepat jam empat. Aku tidak punya bahan pembicaraan, tapi dia selalu punya hal-hal menarik untuk diceritakan. Aku tak terlalu banyak menimpali, tapi dia tetap bersemangat untuk mengoceh kesana kemari. Hingga akhirnya dia terdiam cukup lama. Hanya terdengar helaan nafasnya saja. Aku lalu memanggilnya memastikan telpon ini masih terhubung dan ternyata dia masih ada disana. Lalu aku memulai berbasa-basi. Aku mengatakan bahwa aku meyukainya sejak pertama aku melihatnya. Aku menyatakan cinta palsuku padanya, dia terdiam tak menjawab saat kutanya apakah dia mau menjadi pacarku. Hatiku berdebar dengan diamnya Phia, tak siap dengan kata penolakan darinya. Terbayang teman sekelasku akan menertawakanku karena aku terlalu ceroboh dan terburu-buru. Ini baru dua minggu aku mendekatinya. Tapi aku ingin ini cepat berakhir dan aku ingin bisa membuktikan kepada teman-temanku, aku bukan lelaki mushola yang pendiam yang tak bisa apa-apa. Aku bisa menaklukkan hati gadis ini. “ehm gimana ya? Kenapa begitu cepat? Apakah kamu serius? Kamu belum kenal aku juga, apa ini sungguhan?” dia bertanya begitu banyak. Aku menjawab segala keraguannya dengan pasti seakan-akan ini semua memang tulus dari hatiku hingga pada akhirnya dia pun menerimaku. Betapa senangnya aku saat itu, bukan karena penerimaan Phia, tapi karena aku memenangkan permainan ini.
***
Aku menelpon Yogi tepat waktu. Dia diam saja tak banyak bicara. Jadilah aku yang berceloteh tentang ini dan itu sampai-sampai aku kehabisan nafas karena terlalu bersemangat. Dia tidak menimpali ceritaku dengan antusias, tapi nampaknya aku sudah terlanjur mengaguminya hingga sikapnya yang kurang bersahabat itu tak kuhiraukan. Hingga sampai dimana aku kehabisan bahan pembicaraan, dia mulai bicara. Tentang aku. Tentang memulai hubungan denganku. Jelas ini mengagetkan untukku, aku belum pernah pacaran sebelumnya. tapi karena aku sudah tersihir oleh segala argumennya yang meyakinkanku untuk menjalin hubungan dengannya, aku menyetujui untuk menjadi kekasihnya.
Begitu senangnya aku. Dia adalah pacar pertama yang sempurna. Semua berjalan baik, ehm oke tidak terlalu baik. Kami jarang bertemu. Hanya lewat telpon. Itupun aku yang menelponnya. Sesekali kami pulang bersama, dan itu sangat menggembirakan mengingat aku sangat menikmati saat-saat itu walau hanya dengan menatap setiap senyum dan tatapannya yang dingin itu. Sempat aku memintanya mengerjakan tugas kaligrafiku, dia hebat dalam hal itu. Sempat pula aku berkirim surat dengannya dan surat itu masih kusimpan sampai saat ini. Hubungan kami berjalan tiga bulan. Dia memutuskan hubungan kami lewat telpon, lagi-lagi saat itu aku yang menelponnya, lewat wartel. Aku menerima keputusannya dengan respon yang biasa saja. Jujur saat itu aku setengah sadar saat mengiyakannya . Aku tidak menangis saat itu, aku justru tertawa sambil menutup telpon. Saat perjalanan menuju rumah, aku telaah lagi apa yang diucapkan Yogi tadi. Aku sadar dan begitu aku sampai dirumah, aku menangis sejadi-jadinya. Ternyata seperti ini rasanya ditinggalkan. Aku bahkan tak menanyakan apa alasannya melakukan ini padaku.
***
Teman-teman sekelasku tak percaya dengan kemenanganku dalam permainan ini. Sekarang tak ada lagi yang meremehkanku. Apalagi Phia tampak selalu ingin dekat denganku. Aku risih sebenarnya, tapi aku menahannya untuk memenangkan permainan ini lebih jauh. Aku meminta fotonya agar ia yakin aku memang mencintainya. Saat valentine, dia mengirimiku kartu ucapan cantik sedangkan aku tak memberinya apa-apa. Aku mengiriminya beberapa surat untuk menyenangkan hatinya. Ternyata aku hanya mampu berpura-pura selama tiga bulan. Aku tidak mengatakan apa alasannya saat memutuskan Phia karena memang dia tidak bertanya. Andai dia bertanya sekalipun, aku juga tak tahu apa yang harys ku katakan. Dia menerimanya, dengan suara tawanya yang khasnya seperti biasa, tampak tak terluka sama sekali. dia menutup telponnya tanpa ada kesan bahwa ia tersakiti. Itu bagus bukan? Jadi keadaan ini tak akan menambah rasa bersalahku padanya. Aku mengakhiri dramaku ini dengan sempurna.
***
Aku bersekolah di SMA dan aku dengar Yogi lebih memilih SMK. Ia memang tak berniat untuk kuliah, ia ingin langsung kerja seperti Ila. Lama aku tak mendengar kabarnya. Padahal aku rajin datang ke SMP untuk halal bihalal setiap tahun, berharap aku dapat melihatnya. Hanya melihat, tidak lebih. Tapi nampaknya aku tidak beruntung. Entah mengapa aku tidak dapat melupakannya. Walau dia dingin padaku, aku merasa dia sebenarnya perhatian denganku. Misalnya saja saat aku mengisi acara KTS atau Kegiatan Tengah Semester di SMP dulu bersama bandku. Para teman laki-laki menggodaku dengan melemparkan tisu sambil terus meneriakkan namaku. Sungguh aku malu dengan kelakuan mereka. Walau aku tahu mereka hanya bercanda, tetap saja aku merasa dipermalukan. Saat diatas panggung aku mencari Yogi dikerumunan penonton. Aku menemukannya duduk di bawah pohon bersama beberapa temannya. Dia memeluk kakinya yang dilipat ke dada dan menutupi kepalanya dengan jaket birunya. Dia menutupi matanya yang sedang menatapku. Aku masih ingat tatapan dinginnya. Itu menghiburku dari rasa malu yang menghinggapiku.
Sampai pada saat aku duduk di kelas 3 SMA, saat halal bihalal di SMP, aku menemukan seorang Yogi yang selama ini ku tunggu. Akhirnya aku bisa meilhatnya. Aku tidak mendekatinya, aku juga tidak menyapanya seperti yang kulakukan ke teman-temanku lainnya. Aku hanya memandangnya dari jauh. Dan aku sadari bahwa hatiku masih merasakan getaran seperti empat tahun yang lalu.
***
Lulus dari SMP itu aku bersekolah di SMK. Aku tidak memiliki pacar lagi setelah aku mempermainkan Phia karena aku ingin fokus dengan sekolah. Aku bertemu lagi dengan beberapa teman SMPku disini. Walau dengan jurusan yang berbeda tapi karena kami berasal dari SMP yang sama dan itu membuat kami lebih dekat. Beberapa kali mereka mengajakku untuk sekedar mampir ke SMP. Memang jarak SMK dengan SMPku tak terlalu jauh, itu mengapa mereka sering berkunjung kesana walau hanya untuk minum es teh di kantin. Mereka juga bersemangat untuk datang ke acara halal bihalal yang diadakan SMPku setiap tahun. Tapi aku tak mau ikut. Aku takut bertemu Phia. Aku takut dia mengetahui kebohonganku selama ini walau aku tak yakin akan ada teman yang membocorkannya. Sampai pada tahun ketigaku di SMK akhirnya aku mau mengikuti acara tahunan SMPku itu. Dan seperti dugaanku, aku bertemu Phia disana. Dia tidak menatapku seperti yang dia lakukan dulu. Dia tidak menyapaku padahal seluruh temanku disapanya satu persatu. Kulitnya tampak tidak sehitam dulu. Dan dia terlihat lebih bahagia. Dulu dia memang tak pernah lupa untuk tak tersenyum tapi kali ini senyum itu benar-benar tulus, itu membuatnya tampak lebih mempesona. Dia tak banyak berubah. Tetap ceria, ramah dan banyak ceritanya, tapi aku tak mampu mendekatinya walau hanya untuk menyapa. Karena aku rasa dia membenciku.
Entah apa yang merasuki pikiranku. Semenjak hari itu aku selalu mengingat Phia. Apakah ini berasal dari rasa bersalahku ataukah aku telah terkena karma? Dalam gelombang kebingungan ini, aku meminta nomor ponsel Phia pada Ila. Ila hanya tersenyum dan memberikannya padaku. Yang Ila tahu, aku dan Phia dulu memang memiliki rasa yang sama, dia tak tahu dosa apa yang telah kulakukan dulu pada sahabatnya.
***

Karma #3

Mimpikah ini? Aku mendapat sms dari Yogi! Aku mengettahuinya karena aku langsung menanyakan nomor itu pada Ila dan ternyata memang nomor Yogi. Ya Tuhan, benarkah? Tak terbayangkan senangnya aku saat itu. Sangking senangnya aku ingin memeluk seluruh orang yang kutemui saat itu. Tapi walau begitu aku tetap menjaga sikap. Aku bersikap seolah sms darinya adalah sesuatu yang biasa.
Aku terus berhubungan dengannya semenjak selesainya UNAS sampai masa pengangguranku. Aku menganggur untuk menunggu pengukuhan mahasiswa baru dan masa ospek universitasku. Ya, aku melanjutkan pendidikanku ke bangku kuliah. Sedangkan dia masih di SMK. Karena sistem  di SMKnya, tahun keempat adalah tahun dimana seluruh ilmu yang didapat selama ini diaplikasikan di dunia kerja yang biasanya disebut magang. Pada masa pengangguran itu, aku intens ber-sms-an dengannya. Dia sering mengajakku keluar dan suatu saat aku diajaknya kerumah Ila, ibu Ila menanyakan apakah aku sekarang dekat dengan Yogi karena ibu Yogi sering menceritakanku pada beliau. Yogi hanya tersenyum lalu pamit untuk pulang sebentar, meninggalkanku dalam tanda tanya besar. Padahal aku sama sekali belum pernah bertemu dengan ibu Yogi. Kami hanya berinteraksi lewat telpon, itu pun dulu saat SMP. Aku pun heran bagaimana bisa ibu Yogi mengenalku dan bercerita tentangku ke ibu Ila.
***
Awalnya dia menanggapi smsku dengan biasa saja. Tapi lama kelamaan dia akhirnya kembali seperti dulu. Tidak ada yang berubah, itulah yang ku suka. Aku suka? Iya sepertinya begitu. Rasa bersalah itu ternyata menjelma menjadi karma. Dan sekarang aku menyukainya. Aku betah ber-sms-an dengannya. Aku nyaman menceritakan segala hal yang ku alami pada Phia. Dia adalah pendengar sekaligus penasihat yang baik. Aku juga sering menceritakan Phia pada ibuku karna beliau adalah tempat curhatku. Beliau ingat pada gadis yang dulu sering menelpon kesini. Dan beliau senang kepada Phia, beliau senang gadis ceria itu menularkan keceriaannya padaku yang notabene pendiam.
Aku suka Phia tapi aku tak berani menyatakan cintaku padanya. Aku takut dia masih trauma. Dan aku juga takut ditolak. Aku lebih nyaman seperti ini, tak terikat sehingga aku bisa sedikit melupakan rasa bersalahku di masa lalu.
Sampai akhirnya aku merasa kehilangan Phia karena dia sibuk dengan ospeknya. Dia jarang menjawab smsku. Dia menjauh dariku. Aku takut kehilangan Phia lagi. Aku ingin memilikinya. Tidak seperti saat aku SMP dulu yang hanya mempermainkannya, perasaan ini benar-benar tulus dari hatiku. Dan akhirnya, hasratku itu membuat aku memberanikan diri untuk menyatakan cinta lagi kepadanya.
***
Aku mulai sibuk dengan ospekku. Ini benar-benar menyita seluruh hidupku. Aku tak doyan makan, aku lupa mandi, aku pulang kerumah larut malam dan aku tak ada waktu untuk membalas sms Yogi. Aku juga merasa tak ada kewajiban penuh untuk membalasnya karena aku pikir dia pasti juga sibuk dengan magangnya.
Lalu itu terjadi lagi. Yogi menyatakan cintanya padaku lagi. Ini seperti empat tahun lalu. Tapi entah mengapa aku tak sesenang dulu. Mungkin karena seluruh pikiranku tersita oleh ospek. Tapi aku tak punya waktu untuk pacaran saat ini. Aku masih mencintainya seperti empat tahun yang lalu, tapi masih ada ragu yang bersemayam dihatiku. Aku tak tahu apa penyebabnya tapi aku tahu hatiku tak pernah salah. Karenanya aku meminta waktu untuk memberikannya jawaban.
***

Karma #4

Phia tak langsung menjawabnya seperti dulu SMP. Dia meminta waktu supaya ia bisa memikirkan ini lebih jauh. Aku takut dia menolakku. Aku sudah sejauh ini menyayanginya. Ini benar-benar karma yang tak dapat ku tolak. Aku sangat tersiksa dengan perasaan ini. Rasa ingin memilikinya dan rasa bersalah karena aku masih menyimpan kebohongan besar dalam hidupku yang menyangkut perasaannya ini tumbuh bersama dalam kalbuku.
Kuputuskan untuk bertandang ke rumahnya. Saat itu ia sedang senggang. dia bercerita tentang ospeknya yang melelahkan dan itu memang benar, karena dia tampak lebih kurus dari sebelumnya. hari itu aku memutuskan untuk mengungkapkan kebohonganku di masa lalu. Aku tahu resikonya, dia akan menolakku, tapi aku tak bisa menyimpan ini terlalu lama. Aku tak sanggup berlama-lama menipu orang yang sangat aku sayangi.
***
Aku masih belum memberinya jawaban, sampai pada suatu hari dia datang ke rumahku. Dia datang membawa cerita. Cerita kami dulu yang ternyata semuanya palsu. Dia melakukannya karena permainan gilanya dengan teman-temannya. Menjadikan siswi baru yang udik sebagai bahan lelucon. Bagai memakan buah mojo, pahit. Pahitnya sampai membuatku mati rasa. Aku tak bisa sedih atau menangis. Aku hanya tersenyum pahit, dan tidak bisa berkata apa-apa. Dia berulang kali meminta maaf. Ya, sudah seharusnya dia meminta maaf atas kejahatannya selama ini. Membiarkan aku terlena oleh rasa kagumku padanya selama empat tahun sedaangkan itu bukan waktu yang singkat untuk sebuah perasaan. Tapi dengan kenyataan yang baru saja aku ketahui, rasa sayang itu hilang. Benar-benar terlalu sakit sampai tak bisa merasakan apa-apa. Dia berpamitan pulang meninggalkan aku dengan luka yang dalam. Sangat dalam hingga aku tak yakin apa ini bisa sembuh.
Aku menata hatiku yang hancur. Untung saja ospek begitu sibuk hingga aku tak punya waktu untuk larut dalam kesedihanku. Aku tak menghubunginya dan aku harap ia memahami mengapa aku melakukannya.
***
Dia terluka, aku tahu itu. Phia memang selalu tersenyum tapi kali ini terselip perasaan sakit yang tak terlukiskan, itu semua karena aku. Karena kebodohanku di masa lalu. Aku tak berhubungan dengannya untuk waktu yang lama. Dia sibuk dengan ospeknya,dan yang pasti dia masih kecewa denganku.
Dalam masa penantianku, aku bertemu dengan Sherly. Dia gadis lugu, adik kelasku di SMK. Aku tak ingin menyakiti wanita lagi. Aku yakin dengan kejujuranku beberapa waktu lalu, Phia pasti tak akan menerimaku. Sehingga aku memutuskan untuk melakukan pendekatan dengan Sherly walau aku masih sangat mencintai Phia. Aku berharap Phia mau memaafkanku walau tidak sekarang.
Sherly berangsur-angsur mengisi hari-hariku. Tapi aku masih tak bisa melupakan Phia. Cintaku terlalu besar untuknya hingga aku tak mudah melupakannya walau telah ada Sherly di sampingku.
***
Aku masih belum menjawab hingga aku mendengar kabar dari Ila bahwa Yogi sedang dekat dengan adik kelasnya. Aku tak terluka dengan itu, aku tak sakit hati atau merasa kehilangan Yogi. Aku ikut bahagia mendengar ia sudah bisa menemukan penggantiku. Walau aku sendiri belum menemukan penggantinya karena aku tak mudah jatuh cinta. Aku masih menyimpan rasa itu yang ternyata bukan hilang sama sekali, hanya saja ini tak sebesar dulu. Aku masih menyayanginya dan memang tak sebesar dulu lagi. Itu mengapa aku sekarang lebih rela jika ia menemukan penggantiku karena aku memang tak berniat menerima cintanya lagi walau aku masih menyimpan rasa itu.
Aku mengirimkan sms padanya saat hatiku telah yakin. Aku katakan semua alasannya, termasuk kenyataan bahwa aku masih mencintainya. Tapi aku tak bisa bersamanya lagi. Biarkan kami membuka cerita baru dan menyimpan rasa yang kini memang tulus dimilki kedua hati ini tanpa ada hasrat untuk saling memilki.
***
Aku takut bertemu Phia. Aku takut mataku tak dapat berbohong jika aku masih menyayanginya walau aku kini bersama Sherly.
Malam pernikahan Ila ramai dengan teman SMP. Semua datang demi merayakan hari bahagia teman mungilku ini. Tapi aku tak melihat Phia, padahal sahabatnya Serri telah ada disini sejak tadi siang. “cari Phia, Gi?” kata Serri menggodaku. Semua sahabatnya memang mengetahui dengan detail apa yang terjadi antara aku dengan Phia. Ila awalnya sempat marah padaku tapi berjalannya waktu dia akhirnya meluluh dengan sendirinya. Aku hanya tersenyum saat Serri menggodaku. “dia kesini barsama teman-teman yang berkumpul terlebih dahulu di SMP Gi. Karena banyak yang tak tahu rumah Ila.” Oh, ternyata dia yang jadi penunjuk arah kesini, kataku dalam hati. Apakah dia datang sendiri atau membawa pacarnya? “aku mau pulang. Karena masih ada acara lain selain disini Ser”kataku beralibi. Tapi aku berniat menunggunya datang. Begitu dia datang, aku akan pulang. Aku tak bisa melihat gadis yang kucintai itu terlalu lama. Ada perasaan bersalah dicampurkan dengan rindu yang menggunung. Apalagi ku dengar saat ini dia berkerudung. Seperti apa penampilan gadis tomboy itu dengan kerudungnya?
***

Karma #5

Aku berhasil tampil beda. Tentu aku tak ingin mengecewakan Ila. Aku ingin tampil secantik mungkin di acara pernikahan sahabatku ini. Aku berangkat sendiri, tidak bersama dengan pacarku. Tak ada maksud apa-apa, hanya aku tahu teman-temanku banyak yang tak membawa motor. Jadi aku bisa memboncengnya bersamaku kerumah Ila.
Setelah kami semua telah berkumpul, aku dan Piny berada di depan sendiri. Ternyata benar firasatku untuk berangkat sendiri, karena ada dua temanku yang tak membawa motor. Akhirnya aku dan temanku yang lainnya yang membonceng kedua temanku itu. Piny sendiri membawa kekasihnya.
Sesampainya di rumah Ila, suasana sudah sangat ramai. Ini sekaligus ajang reuni bagi kami. Aku melewati pelaminan. Ila berteriak memanggilku, tapi aku pura-pura tak mendengarnya, saat dia mulai mengerutu manja karena tak kugubris akhirnya aku menolehnya sambil tertawa. Beginilah kami jika bertemu. Segala tingkah kami kembali seperti anak SMP yang masih tak mengenal dunia. Aku lalu meminta izin kepada Ila untuk bersalaman dengan kedua orang tua Ila terlebih dahulu karena aku sudah lama tak bertemu mereka. Sedangkan pada tradisi pernikahan di keluarga Ila, yang berada di pelaminan hanyalah kedua mempelai. Saat aku berhasil menemui kedua orang tua Ila untuk sekedar berbasa-basi.saat aku mengakhiri perbincanganku dengan kedua orang tua Ila, tiba-tiba ada yang memanggilku. Aku menoleh ke arah kiri dan ke kanan untuk mencari sumber suara. Tapi aku tak menemukan siapapun yang tampak seperti memanggilku. Dan suara itu memanggilku untuk kedua kalinya. Yogi, dia yang memanggilku. Dia berdiri di samping kiri pelaminan bersama beberapa temannya yang aku tak kenal. Aku tersenyum dan aku menghampirinya. Dia menatapku lama. Mungkin dia belum terbiasa dengan penampilanku yang berkerudung seperti saat ini, padahal aku sudah memakai ini sejak aku semester empat. “apa kabar Phia? Datang sendiri?” katanya lirih. “Alhamdulillah baik, iya sendirian. Kamu sendiri, mana pacarmu?” kataku sambil celingukan mencari mana gadis pujaannya saat ini. Apakah lebih cantik dariku? “dia belum pulang kerja. Ehmm. . kita sudah berapa lama tak bertemu Phi?” katanya sambil menatap gelas yang dipegangnya. “lumayan lama, dari aku semester satu sampai sekarang aku sudah semester lima. Dua tahun?” kataku. Aku pun terkejut ternyata selama itu kami tak bertemu. “iya dua tahun. “ katanya masih menatap gelas. Kami membisu dalam keheningan untuk beberapa saat, lalu “aku pulang dulu ya, ada acara lain.” Katanya berpamitan. Aku mengangguk sambil tersenyum. Tidak ada kontak mata, tidak ada jabat tangan, dia berlalu begitu saja.
***
Dia jauh lebih cantik daripada sebelumnya. entah mengapa aku merasa setiap aku bertemu dengannya dia selalu terlihat lebih mempesona dari sebelumnya. aku takjub melihatnya. Masih dengan keramahan dan senyum itu. Tak ada yang berubah. Dia memang tak pernah berubah. Aku lah yang berubah. Aku merasakan perubahan itu walau aku tak tahu apa saja yang telah berubah. Aku menatap Phia yang sedang berbincang dengan orang tua Ila. Aku ingin menatapnya lebih dekat. Aku ingin berbincang dengan gadis yang masih menguasai hatiku itu. Gadis yang lebih aku cintai daripada cintaku pada Sherly.
Aku memanggilnya, tapi dia tak melihatku. Aku memanggilnya lagi dan akhirnya ia menemukanku. Kami berbincang, berbasa-basi tentang pasangan masing-masing. Hingga aku terdiam, dia pun terdiam. Rasa ingin melihatnya dari dekat sirna saat dia benar-benar ada dihadapanku. Aku hanya mampu melihat gelasku untuk menutupi salah tingkahku. Aku benar-benar tak mampu mengatakan apa-apa.
Akhirnya aku memutuskan untuk pulang saja. Karma ini begitu menyiksaku. Mungkin ini yang dulu Phia rasakan enam tahun yang lalu. Aku kira dengan melihatnya rinduku akan terobati, tapi ternyata ini semakin menguat. Aku benci rasa ini. Aku akan menyimpannya saja, tidak menghubunginya sama sekali itu akan lebih baik. Aku ingin memendamnya jauh, jauh di lubuk hatiku yang terdalam.
***
“Yogi tadi berulang kali mengatakan tak akan lama disini karena ada acara lain. Apalagi dia sempat berkata ingin pulang sebelum kau datang karena ia tak ingin bertemu denganmu. Tapi dari magrib hingga kamu datang, dia masih disini Phi” kata Ila. Serri pun menyatakan hal yang sama sebelumnya. Aku tak tahu ini berarti dia masih menyayangiku atau tidak, itu sudah tak penting lagi karena hatiku sudah menemukan penggantinya. Aku sudah mempunyai kekasih yang jujur dan ini tidak diawali dengan kebohongan seperti aku dan Yogi. Biar ceritaku dengannya abadi dalam hatiku. Biarkan hanya aku yang tahu dan Tuhan pastinya. Dia memang yang pertama. Pertama membuatku bahagia, pertama membuatku menangis tapi itu semua telah menjadi kenangan. Dalamnya hati siapa yang tahu? Termasuk hatiku.
***

Senin, 06 Februari 2012

Mengapa Aku Mencintaimu ?

Mengapa aku mencintaimu?
karena engkaulah yang menyambutku dengan senyuman manis di pagi hari, walau kadang aku susah untuk dibangunkan, atau justru aku belum tidur sama sekali. kau tidak pernah mempermasalahkan itu. yang kau inginkan hanya aku dapat shalat shubuh tepat waktu.
Mengapa aku mencintaimu?
karena engkaulah pacar pertama yang mengajakku untuk shalat berjamaah dan engkaulah yang pertama yang mau menghargaiku tanpa pamrih
Mengapa aku mencintaimu?
karena kau lelaki yang hebat untuk hal ikhlas dan memaafkan, bagaimana tidak? terkadang aku menyakiti sengaja ataupun tak sengaja tapi dalam sabarmu kau selalu mampu memaafkan dan mengikhlaskanku untuk memperbaikinya kembali
Mengapa aku mencintaimu?
karena kamu yang berhasil membuatku menunggu dalam sepi, bertanya-tanya pada kesunyian malam, menangis dalam diam dan meratap dalam ketidakpastian
Mengapa aku mencintaimu?
karena kamu yang sering menyebabkan aku menangis, menyalahkan keadaan mengapa harus begini atau begitu, tapi pada akhirnya aku menyadari alasanku menangis justru karena aku tak sanggup jika terlalu lama tanpamu

begitu banyak alasan mengapa aku mencintaimu, tapi tak semuanya dapat ku ungkapkan dengan kata-kata lugas. aku hanya ingin mencintaimu, dengan caraku, dengan kurangku, dengan apa adanya aku. aku mencintaimu.

Kamis, 02 Februari 2012

Dia #3

Siapa lelaki ini? Jangan! Jangan senyum! Terlalu manis senyumnya, apalagi tatapan matanya yang begitu dalam membuatku seperti ingin leleh saja. "Dingin?" ujarnya sambil mengosok-gosokan kedua tangannya. Ku jawab dengan anggukan perlahan. Aku masih sibuk mencari dimana kuletakkan memoriku tentang lelaki ini, mengapa aku bisa amnesia seperti ini?
Melihat anggukanku, dia lalu tersenyum dan meraih kedua tanganku. Sihir macam apa ini? Mengapa aku tak kuasa menolaknya? Gadis macam apa aku ini, caciku pada diriku sendiri. Dia lalu mengusap halus kedua tanganku dengan tangannya. Jarinya yang panjang dan kukunya yang bersih mengenggamku lembut. "Sabar ya, mungkin 10 menit lagi aurora-nya kelihatan. Kalau sudah puas, kita langsung pulang ya? Kamu pasti sangat kedinginan saat ini. Sabar ya." aku hanya menatapnya tak percaya. Lagi-lagi dia memberikan senyum manis itu, membuat kerja otakku semakin lemot saja. Dan, apa yang dia katakan tadi? Aurora? Dimana sebenarnya aku? Kutub Utara?
"Hey, lihat itu! Awan tipis berwarna hijau itu! Itu aurora! Akhirnya kita bisa melihat aurora." ujarnya tertawa bahagia sambil mendekapku. Dia membuyarkan lamunanku. musnah sudah semua konsentrasi yang sudah susah payah kukumpulkan sedari tadi. Yang aku rasakan sekarang hanyalah hangat tubuhnya dengan wangi yang membuatku semakin tersihir. Sebenarnya siapa dia? Mengapa dia tak canggung untuk mengenggam tangan bahkan mendekapku seerat sekarang?

Dia #2

Secarik kertas itu tergeletak disamping tempat tidurku. Apakah tidurku terlalu pulas hingga ku tak menyadari siapa yang meletakkannya disini? Aku buka surat dengan warna jingga tanpa amplop itu dengan mata yang masih belum terang. Perlahan aku membukanya agar kertasnya tidak lusuh. Ku mulai membaca tulisan yang tampak ditulis dengan penuh kehati-hatian itu, dengan perasaan yang tak menentu.

biarkan hujan membawa seluruh laramu
biarkan semuanya menghilang seiring titik hujan yang membasahimu
senandungkan lagu sedihmu
biarkan hujan mengiringi nada pilumu

surat sendu dari siapakah ini? Mengapa isinya begitu sedih? Dan mengapa ini diletakkan disamping tempat tidurku? Apakah aku bermimpi?
---ooo---

"Ka, surat!" panggil ibuku dengan suara lantang. Bahkan tetangga pun bisa bangun dari tidur siangnya jika mendengar komando ibuku itu. Aku turun bergegas untuk mengambil surat itu sebelum ibuku memanggil lagi. diberikan surat tanpa nama itu. Aku menatap ibu dan beliau hanya mengangkat pundaknya, "tadi ibu menemukan itu di teras. Di amplopnya terdapat namamu, tapi tak ada nama pengirimnya nduk". Aku mengangguk dan berterima kasih sambil kembali menuju kamarku. Amplop dan kertasnya berwarna senada, jingga. Jenis tulisannya pun sama dengan yang tadi pagi. Ku buka perlahan. Jantung berdebar begitu kencang seperti saat aku membuka surat kelulusan saat SMP, tapi ini berbeda, lebih membuatku tak karuan.

apakah kau tahu ?
pertemuan antara sinar hangat sang Mentari dengan titik hujan yang telah mereda ?
pernahkah kau memergoki mereka berdua bercengkerama?
perpaduan antara kehangatan dan kesejukan yang unik
tercipta bianglala indah yang takkan pernah kau temukan ujungnya
sepertimu yang takkan pernah berujung indahnya

Wah, ini seperti semakin aneh. Lelaki macam apa yang mengirimiku surat kaleng penuh gombalan seperti ini? Kenapa harus pakai acara pemuja rahasia seperti ini? Atau jangan-jangan ada yang ingin mengerjaiku? Atau? Ku hentikan perdebatanku ini, dengan menutup surat itu. Menumpuknya menjadi satu dengan surat yang tadi pagi.
---ooo---

Sudah dua hari aku tak mendapatkan surat itu lagi. Emh, bukan aku mencarinya, tidak! Aku juga tidak menunggu kelanjutan puisi itu, tidak! Aku hanya..hanya..ahh, aku merindukan pemuja rahasia itu. Apa aku terlalu cepat mengambil keputusan? Apa aku....... "Permisi mbak, ada titipan buat mbak." kata pengamen yang mendatangi angkotku yang sedang asyik ngetem, membuyarkan pertengkaran antara diriku dengan diriku. "Dari siapa mas?"tanyaku, sebenarnya hanya formalitas, aku tau ini dari dia, karena surat ini jingga(lagi). "Wah saya juga ga sempat kenalan tadi mbak, pokoknya itu buat mbak sajalah, selain itu saya juga ga ngerti." katanya beralibi. "Terima kasih ya mas" kataku sambil tersenyum. Dia mengangguk sambil tersenyum dan berlalu meninggalkanku.
Mungkin si pemuja rahasia-ku itu sedang mengamatiku dari kejauhan, tapi biarlah, jatuh sudah gengsiku terkalahkan oleh rasa penasaran apa kelanjutan dari puisinya yang lalu. Hatiku kembali berdebar, hingga aku dapat merasakan denyut jantung yang seperti di-speaker.

izinkan hujan bertemu dengan sang Mentari
agar mereka dapat menciptakan bianglala seindah engkau
karena saat hujan berlalu
setelah engkau melepaskan semua keluhmu padanya
akan datang aku, yang akan memelukmu erat
agar tercipta bianglala yang tak berujung antara kita berdua

Waow! Apa ini surat peryataan cinta? Kenapa setiap aku selesai membaca surat-surat jingga ini hatiku bergetar dan begitu banyak pertanyaan yang kupertanyakan kepada diriku sendiri? Apakah aku bermimpi? Ini apa sebenarnya? Sungguh aku tak mengerti apa artinya semua ini. Inginku tak mempercayai ini semua, tapi sepertinya ini terlalu indah. Hemh, aku selalu lemah dalam hal ini, cinta, jatuh cinta.

Rabu, 01 Februari 2012

Dia #1

Aku berdiri diatas sini bersama dia, lelaki yang tak pernah kukenal sebelumnya. Disini dingin sekali sampai-sampai mulutku mengeluarkan asap putih seperti yang biasa kutonton di drama korea setiap sore itu. Aku sangat kedinginan. Begitu pula dengan lelaki itu. Dia menggosok-gosokkan tangannya lalu memasukkan ke saku jaket hijaunya. Kami terdiam untuk waktu yang lama . entah apa yang kami lakukan disini , yang pasti aku tak berani untuk mengawali pembicaraan.

Aku melihatnya, mengamatinya dari ujung kepala sampai kaki.Dia lebih tinggi beberapa senti dariku. Badannya tegap dan wangi, iya wangi yang membuatku betah jika harus seharian disampingnya. Rambut hitamnya yang tak terlalu cepak tapi rapi terlihat cocok dengan bentuk wajahnya yang maskulin, alisnya yang tebal, rahangnya yang membuatnya terlihat gagah, senyum yang selalu menghiasi bibirnya sedari tadi, matanya yang tegas, pasti aku akan meleleh jika ia menatapku dengan mata indah itu dan “Mengapa kau menatapku sperti itu? Apakah ada yang aneh?hemh?” ujar lelaki itu sambil tersenyum manis padaku . Deg! ini siapa? Kenalkah aku? Teman apa? SD? SMP? SMA? Kuliah? Kenapa aku bisa melupakan siapa lelaki ini?