Rabu, 15 Februari 2012

Karma #2

Phia menelponku, tepat jam empat. Aku tidak punya bahan pembicaraan, tapi dia selalu punya hal-hal menarik untuk diceritakan. Aku tak terlalu banyak menimpali, tapi dia tetap bersemangat untuk mengoceh kesana kemari. Hingga akhirnya dia terdiam cukup lama. Hanya terdengar helaan nafasnya saja. Aku lalu memanggilnya memastikan telpon ini masih terhubung dan ternyata dia masih ada disana. Lalu aku memulai berbasa-basi. Aku mengatakan bahwa aku meyukainya sejak pertama aku melihatnya. Aku menyatakan cinta palsuku padanya, dia terdiam tak menjawab saat kutanya apakah dia mau menjadi pacarku. Hatiku berdebar dengan diamnya Phia, tak siap dengan kata penolakan darinya. Terbayang teman sekelasku akan menertawakanku karena aku terlalu ceroboh dan terburu-buru. Ini baru dua minggu aku mendekatinya. Tapi aku ingin ini cepat berakhir dan aku ingin bisa membuktikan kepada teman-temanku, aku bukan lelaki mushola yang pendiam yang tak bisa apa-apa. Aku bisa menaklukkan hati gadis ini. “ehm gimana ya? Kenapa begitu cepat? Apakah kamu serius? Kamu belum kenal aku juga, apa ini sungguhan?” dia bertanya begitu banyak. Aku menjawab segala keraguannya dengan pasti seakan-akan ini semua memang tulus dari hatiku hingga pada akhirnya dia pun menerimaku. Betapa senangnya aku saat itu, bukan karena penerimaan Phia, tapi karena aku memenangkan permainan ini.
***
Aku menelpon Yogi tepat waktu. Dia diam saja tak banyak bicara. Jadilah aku yang berceloteh tentang ini dan itu sampai-sampai aku kehabisan nafas karena terlalu bersemangat. Dia tidak menimpali ceritaku dengan antusias, tapi nampaknya aku sudah terlanjur mengaguminya hingga sikapnya yang kurang bersahabat itu tak kuhiraukan. Hingga sampai dimana aku kehabisan bahan pembicaraan, dia mulai bicara. Tentang aku. Tentang memulai hubungan denganku. Jelas ini mengagetkan untukku, aku belum pernah pacaran sebelumnya. tapi karena aku sudah tersihir oleh segala argumennya yang meyakinkanku untuk menjalin hubungan dengannya, aku menyetujui untuk menjadi kekasihnya.
Begitu senangnya aku. Dia adalah pacar pertama yang sempurna. Semua berjalan baik, ehm oke tidak terlalu baik. Kami jarang bertemu. Hanya lewat telpon. Itupun aku yang menelponnya. Sesekali kami pulang bersama, dan itu sangat menggembirakan mengingat aku sangat menikmati saat-saat itu walau hanya dengan menatap setiap senyum dan tatapannya yang dingin itu. Sempat aku memintanya mengerjakan tugas kaligrafiku, dia hebat dalam hal itu. Sempat pula aku berkirim surat dengannya dan surat itu masih kusimpan sampai saat ini. Hubungan kami berjalan tiga bulan. Dia memutuskan hubungan kami lewat telpon, lagi-lagi saat itu aku yang menelponnya, lewat wartel. Aku menerima keputusannya dengan respon yang biasa saja. Jujur saat itu aku setengah sadar saat mengiyakannya . Aku tidak menangis saat itu, aku justru tertawa sambil menutup telpon. Saat perjalanan menuju rumah, aku telaah lagi apa yang diucapkan Yogi tadi. Aku sadar dan begitu aku sampai dirumah, aku menangis sejadi-jadinya. Ternyata seperti ini rasanya ditinggalkan. Aku bahkan tak menanyakan apa alasannya melakukan ini padaku.
***
Teman-teman sekelasku tak percaya dengan kemenanganku dalam permainan ini. Sekarang tak ada lagi yang meremehkanku. Apalagi Phia tampak selalu ingin dekat denganku. Aku risih sebenarnya, tapi aku menahannya untuk memenangkan permainan ini lebih jauh. Aku meminta fotonya agar ia yakin aku memang mencintainya. Saat valentine, dia mengirimiku kartu ucapan cantik sedangkan aku tak memberinya apa-apa. Aku mengiriminya beberapa surat untuk menyenangkan hatinya. Ternyata aku hanya mampu berpura-pura selama tiga bulan. Aku tidak mengatakan apa alasannya saat memutuskan Phia karena memang dia tidak bertanya. Andai dia bertanya sekalipun, aku juga tak tahu apa yang harys ku katakan. Dia menerimanya, dengan suara tawanya yang khasnya seperti biasa, tampak tak terluka sama sekali. dia menutup telponnya tanpa ada kesan bahwa ia tersakiti. Itu bagus bukan? Jadi keadaan ini tak akan menambah rasa bersalahku padanya. Aku mengakhiri dramaku ini dengan sempurna.
***
Aku bersekolah di SMA dan aku dengar Yogi lebih memilih SMK. Ia memang tak berniat untuk kuliah, ia ingin langsung kerja seperti Ila. Lama aku tak mendengar kabarnya. Padahal aku rajin datang ke SMP untuk halal bihalal setiap tahun, berharap aku dapat melihatnya. Hanya melihat, tidak lebih. Tapi nampaknya aku tidak beruntung. Entah mengapa aku tidak dapat melupakannya. Walau dia dingin padaku, aku merasa dia sebenarnya perhatian denganku. Misalnya saja saat aku mengisi acara KTS atau Kegiatan Tengah Semester di SMP dulu bersama bandku. Para teman laki-laki menggodaku dengan melemparkan tisu sambil terus meneriakkan namaku. Sungguh aku malu dengan kelakuan mereka. Walau aku tahu mereka hanya bercanda, tetap saja aku merasa dipermalukan. Saat diatas panggung aku mencari Yogi dikerumunan penonton. Aku menemukannya duduk di bawah pohon bersama beberapa temannya. Dia memeluk kakinya yang dilipat ke dada dan menutupi kepalanya dengan jaket birunya. Dia menutupi matanya yang sedang menatapku. Aku masih ingat tatapan dinginnya. Itu menghiburku dari rasa malu yang menghinggapiku.
Sampai pada saat aku duduk di kelas 3 SMA, saat halal bihalal di SMP, aku menemukan seorang Yogi yang selama ini ku tunggu. Akhirnya aku bisa meilhatnya. Aku tidak mendekatinya, aku juga tidak menyapanya seperti yang kulakukan ke teman-temanku lainnya. Aku hanya memandangnya dari jauh. Dan aku sadari bahwa hatiku masih merasakan getaran seperti empat tahun yang lalu.
***
Lulus dari SMP itu aku bersekolah di SMK. Aku tidak memiliki pacar lagi setelah aku mempermainkan Phia karena aku ingin fokus dengan sekolah. Aku bertemu lagi dengan beberapa teman SMPku disini. Walau dengan jurusan yang berbeda tapi karena kami berasal dari SMP yang sama dan itu membuat kami lebih dekat. Beberapa kali mereka mengajakku untuk sekedar mampir ke SMP. Memang jarak SMK dengan SMPku tak terlalu jauh, itu mengapa mereka sering berkunjung kesana walau hanya untuk minum es teh di kantin. Mereka juga bersemangat untuk datang ke acara halal bihalal yang diadakan SMPku setiap tahun. Tapi aku tak mau ikut. Aku takut bertemu Phia. Aku takut dia mengetahui kebohonganku selama ini walau aku tak yakin akan ada teman yang membocorkannya. Sampai pada tahun ketigaku di SMK akhirnya aku mau mengikuti acara tahunan SMPku itu. Dan seperti dugaanku, aku bertemu Phia disana. Dia tidak menatapku seperti yang dia lakukan dulu. Dia tidak menyapaku padahal seluruh temanku disapanya satu persatu. Kulitnya tampak tidak sehitam dulu. Dan dia terlihat lebih bahagia. Dulu dia memang tak pernah lupa untuk tak tersenyum tapi kali ini senyum itu benar-benar tulus, itu membuatnya tampak lebih mempesona. Dia tak banyak berubah. Tetap ceria, ramah dan banyak ceritanya, tapi aku tak mampu mendekatinya walau hanya untuk menyapa. Karena aku rasa dia membenciku.
Entah apa yang merasuki pikiranku. Semenjak hari itu aku selalu mengingat Phia. Apakah ini berasal dari rasa bersalahku ataukah aku telah terkena karma? Dalam gelombang kebingungan ini, aku meminta nomor ponsel Phia pada Ila. Ila hanya tersenyum dan memberikannya padaku. Yang Ila tahu, aku dan Phia dulu memang memiliki rasa yang sama, dia tak tahu dosa apa yang telah kulakukan dulu pada sahabatnya.
***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar