Rabu, 15 Februari 2012

Karma #1

Ila menikah. Aku selalu bersekolah di tempat yang sama dengannya sejak TK hingga SMP. Kami juga sama-sama memilih SMK bukan SMA walau di sekolah yang berbeda. Rumah kami sangat dekat ditambah kedua orang tua kami telah saling mengenal dengan baik. Tentu aku bahagia akan pernikahannya ini, tapi terselip keraguan untuk datang ke acara itu. Ini bukan karena aku memiliki perasaan cinta pada Ila, bukan. Aku tulus menyayanginya Ila seperti adikku sendiri. Ini karena Phia, sahabat Ila di SMP yang tentunya temanku juga, oh bukan, mantanku lebih tepatnya.
***
Akhirnya, dari keempat sahabatku semasa SMP, Ila lah yang menikah terlebih dahulu. Ini sudah kami prediksikan sebelumnya mengingat lingkup keluarga Ila yang mewajibkan anak gadisnya sudah harus menikah dengan batas umur maksimal 20 tahun. Aku, Serri dan Piny selalu menggodanya semasa kami SMP dulu untuk memberikan hadiah pernikahan berupa lingerie. Dan saat ini, kami benar-benar merealisasikannya. Begitu gila kami dulu, tapi itulah kenangan terindah yang ku punya. Aku ingin tampil secantik mungkin untuk pernikahan sahabatku ini, apalagi bisa dipastikan banyak teman SMP yang datang. Ila bukan gadis populer, tapi dia ramah kepada semua orang, itu mengapa banyak yang menyukainya.
***
Saat aku SMP, Phia adalah gadis polos yang benar-benar tak mengerti kejamnya lelaki di kota besar ini. Bahkan lelaki yang masih bau kencur sepertiku saat itu juga menjadikannya bahan lelucon dengan teman-teman sekelasku. Mereka menantangku untuk mendekati gadis itu. Aku harus mendekatinya dan jika aku mampu bertindak lebih jauh, aku ditantang untuk menjadikannya kekasih. Aku tidak akan dapat sejumlah uang taruhan karena kami memang tidak bertaruh. Ini hanya untuk bersenang-senang. Dan saat aku mendekatinya, dengan bantuan beberapa teman yang sekelas dengannya termasuk Ila, aku berhasil mendapatkannya.
Waktu itu bel pulang sekolah sudah berbunyi 15 menit yang lalu. Tapi aku tak langsung pulang, aku bermain bola bersama teman sekelasku. Lalu aku melihat Phia dengan sepeda merah. Aku melambaikan tanganku ke arahnya, tapi dia tak melihatku. Dia sibuk dengan beberapa teman laki-laki yang pulang bersamanya. Dia memang tomboy, dan sejauh ini aku lebih sering melihatnya berteman dengan lelaki, itu mengapa aku mudah mendekatinya. Aku lalu meneriakkan namanya dan akhirnya dia menoleh kepadaku sambil tersenyum. Dia merapatkan sepedanya ke gerbang sekolah yang terkunci karena lapangan tempatku berdiri memang berada dekat sekali dengan gerbang itu. Aku lalu menghampirinya. “Phia sudah mau pulang?” kataku semanis mungkin. Iya, inilah peranku. “ehhm, iya mau pulang sekarang. Eyangku selalu khawatir berlebihan jika aku tak pulang tepat waktu. Kamu masih mau bermain bola? Mau pulang jam berapa?” dia tersenyum, dia memang selalu tersenyum. Itulah yang membuatnya menarik. “kalau capek ya pulang. Hehee, nanti jam empat ada acara? Telpon aku bisa? pengen ngobrol.” Dia pasti mau, karena aku tahu dia mulai menyukaiku. “iya, nanti aku telpon jam empat pas. Aku pulang dulu ya, dadah.” Katanya sambil menaiki sepeda dan kemudian mengayuhnya pulang. Aku menatapku tas punggung berwarna abu-abu itu, apakah aku anak laki-laki yang jahat? “hei Yogi! Ayo main lagi! Ngapain kamu liatin cewe udik itu? Uda mulai kesengsem ya?” kata Eki menggodaku. Aku menggeleng dan aku berlari kearah lapangan untuk bermain lagi.
***
Aku dulu begitu kesal ketika ibuku menyuruh aku untuk pindah ke Surabaya terlebih dahulu. Aku tak terbiasa terpisah dengan keluarga untuk jangka waktu yang lama. Apalagi semua temanku ada di Kalimantan. Bagaimana aku bisa meninggalkan itu semua dan beradaptasi dengan keluarga besar di Surabaya yang jarang kutemui. Memang seluruh keluargaku ada di Surabaya, tapi aku jarang sekali pulang ke Surabaya, itu mengapa aku sedikit canggung jika harus berada disana tanpa ibuku. Tapi ibu bersikeras dengan alasan ada ayahku disana. Akhirnya aku menurutinya, dengan berat hati tentunya. Aku yang sempat bersekolah di SMP favorit di Banjarbaru kota tempatku tinggal ternyata dapat diterima di SMP favorit di Surabaya timur. Itu menambah semangat ibu untuk mendorongku segera hijrah ke Surabaya meninggalkan masa kecilku yang indah di Kalimantan.
Di SMP inilah aku bertemu dengan Ila, dia teman sebangku yang menyenangkan. Dia lucu dan ramah. Karenanya aku mudah beradaptasi. Tapi para gadis disini nampaknya tak suka dengan gadis udik dari luar Jawa seperti aku. Apalagi aku berbicara dengan aksen yang mereka anggap aneh dan terlalu cepat untuk telinga mereka sehingga aku tak terlalu senang berteman dengan gadis disini, kecuali Ila tentunya. Aku lebih nyaman berteman dengan laki-laki yang tak mudah tersinggung dan mempunyai selera humor.
Suatu hari Ila bercerita bahwa temannya Yogi sering menanyakan aku padanya. Ila bilang Yogi adalah anak pendiam. Ila sendiri sudah mengenal Yogi sejak TK, ditambah lagi rumah mereka sangat dekat, orang tua mereka pun berteman baik. Yogi rajin mengumandangkan adzan di mushola dekat rumahnya. Dia juga rajin mengaji. Dia mendapat beasiswa dari guru matematika kami di SMP ini karena dia sangat pintar dalam mata pelajaran itu. Takjub aku mendengar semua kelebihan Yogi. Aku sama sekali tak keberatan saat Ila menjodoh-jodohkanku dengannya. Dan Yogi memang mendekatiku. Sebenarnya hanya tebakanku saja, karena kata Ila dia jarang tersenyum tapi saat aku kepergok sedang menatapnya, dia justru tersenyum padaku. Dia juga sering nongkrong di depan kelasku. Apakah itu sengaja? Hingga sampai pada suatu siang sepulang sekolah, dia memanggilku dan meminta aku menelponnya. Hei? Mengapa dia menyuruhku menelponnya? Padahal dalam hal ini dia yang sedang melakukan pendekatan? Mengapa aku yang telpon? Tapi sudahlah, aku pun senang bisa ngobrol banyak dengannya nanti sore di telpon.
***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar